PULAU PENYENGAT
SUATU hal yang tercatat dalam sejarah adalah bahwa mesjid ini
merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang utuh. Harap
diingat, Penyengat pada akhirnya tidak saja sebagai tempat
berkedudukannya seorang Yang Dipertuan Muda atau semacam Perdana Menteri
Kerajaan Melayu Riau-Lingga, tetapi juga tempat kedudukan Sultan sejak
tahun 1900 dengan segala macam pembangunan fisiknya; sebutlah di
antaranya berbagai macam istana, mahkamah, rumah sakit, listrik, dan
jaringan telepon yang tersedia sebelum abad ke-20.
Alkisah, nama pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal
abad ke-18 ketika meletusnya perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang
kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau).
Pulau ini menjadi penting lagi ketika berkobarnya perang Riau (akhir
abad ke-18) pimpinan Raja Haji Fisabilillah yang pada tahun 1997
diangkat sebagai pahlawan nasional. Raja Haji menjadikan pulau ini
sebagai kubu penting yang dijaga oleh orang-orang asal Siantan, dari
kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan.
Cerita rakyat menyebutkan, nama pulau tersebut diambil dari nama
binatang yakni penyengat (sebangsa lebah), semula dikenal sebagai tempat
orang mengambil air dalam pelayaran di kawasan ini. Konon, suatu kali
para saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang tersebut.
Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau itu dengan dua nama yakni Pulau
Indera dan Pulau Mars. Kini pulau itu lebih dikenal dengan nama
Penyengat Inderasakti.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya
Engku Putri Raja Hamidah, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang
jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap
dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda
Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau
Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.
Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan
selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat menjadi Yang
Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa
pemukiman yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat
ditata sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman,
keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya,
Sultan Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat
kedudukannya dari Daik ke Penyengat.
Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan
melakukan berbagai macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurrahman
Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh penjajah. Tak seorang pun orang
Melayu yang bersedia menjadi Sultan setelah itu, Abdurrahman Muazamsyah
bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju
Singapura dan Johor tahun 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari
6.000 orang penduduk waktu itu yang tinggal di Penyengat setelah
peristiwa tersebut.
Dengan demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan, bahkan dijarah.
Selentingan dari penduduk terdengar cerita tentang bagaimana di antara
para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada hendaklah
dirubuhkan daripada diambil oleh Belanda. Tindakan semacam itu tidak
mungkin dilakukan terhadap Mesjid Sultan, malahan rumah ibadah ini
dipelihara baik sebagaimana mestinya sebuah rumah ibadah.
Sebenarnya, Mesjid Sultan di Pulau Penyengat sebagaimana disebutkan
dalam Tuhfat al-Nafis (buku sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji,
dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku
Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Cuma saja, waktu itu, mesjid
tersebut terbuat dari kayu. Raja Jaafar yang membangun Penyengat sebagai
bandar modern hanya pernah memperlebar mesjid itu karena penduduk Pulau
Penyengat semakin banyak.
Dalam buku Mesjid Pulau Penyengat yang disusun Hasan Junus disebutkan,
pembangunan mesjid itu secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul
Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844),
menggantikan Raja Jaafar. Tak lama setelah memegang jabatan itu yaitu
pada tanggal 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu,
setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk ber-fisabilillah
atau beramal di jalan Allah.
Caranya adalah dengan membangun mesjid di atas tapak mesjid yang lama.
Suatu mesjid yang dapat meninggalkan zaman yaitu dapat digunakan mulai
saat dibina sampai kepada anak cucu mendatang. Seruan ber-fisabilillah
itu sangat kuat bergaung, setelah seruan serupa dikumandangkan dalam
perang Riau, sehingga berduyun-duyunlah masyarakat datang dari berbagai
tempat untuk bergotong-royong. Khusus pada sepekan pertama, para lelaki
selain penjaga malam, dilarang keluar rumah agar siangnya dapat
menyumbangkan tenaganya untuk mesjid. Akhirnya, pembuatan fondasi mesjid
selesai dikerjakan selama tiga pekan.
Tidak saja tenaga, mereka juga menyumbangkan makanan seperti beras,
sagu, dan lauk-pauk termasuk telur ayam. Makanan itu berlimpah-ruah,
bahkan konon putih telur sampai tidak habis dimakan. Atas saran tukang
pada bangunan induk mesjid, putih telur itu akhirnya dicampur dengan
semen untuk perekat batu. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat
menyebutkan bahwa mesjid tersebut dibuat dari telur.
Kini kawasan mesjid itu berukuran 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya
adalah 29,3 x 19,5 meter, disangga oleh empat tiang. Lantai bangunannya
dibuat dari batu bata tanah liat. Di halaman mesjid, terdapat dua buah
rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah.
Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan
makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus
mesjid setiap hari seperti juga tahun ini. Khusus bangunan induk, Raja
Hamzah Yunus mengatakan, “Tidak ada perubahan semenjak pertama dibangun
oleh Raja Abdul Rahman.”
Tak pelak lagi, keberadaannya memang amat lain dibandingkan mesjid
semula yang terbuat dari kayu. Seperti dikisahkan dalam Mesjid Pulau
Penyengat, semula mesjid itu berlantai batu merah empat persegi,
sedangkan dindingnya terbuat dari kayu cengal (Balanocarpus heimii) yang
didatangkan dari Selangor (kini masuk Malaysia). Atapnya terbuat dari
kayu bekian. Hanya terdapat sebuah menara setinggi 12 hasta, ditambah
sebuah kubah berukuran 17 hasta. Mesjid ini diberi pagar hidup dengan
pohon-pohonan yang tumbuh merimbun.
Patutlah diakui bahwa bentuk Mesjid Sultan di Penyengat kini sangat
unik. Sulit bagi orang untuk menentukan asal arsitekturnya. Ada yang
mengatakan, mesjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang
dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang
didatangkan dari Singapura. Tetapi yang jelas, arsitektur mesjid
merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab,
India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival
Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan ini
merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.
Terdapat 13 kubah di mesjid itu yang susunannya bervariasi seperti ada
“kelompok” kubah dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ditambah dengan
empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian 18,9 meter, maka
dapatlah dijumlahkan bahwa bubung yang dimiliki mesjid tersebut sebanyak
17 buah. Ini diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus
dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari semalam yakni subuh (dua
rakat), zuhur (empat rakaat), asyar (empat rakat), maghrib (tiga
rakaat), dan isya (empat rakaat).
Keunikan di dalam mesjid masih banyak. Paling menarik perhatian adalah
terdapatnya mushaf Alquran tulis tangan yang diletakkan dalam peti kaca
di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul tahun
1867. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan
Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Disebabkan tempat
belajarnya, penulisan mushaf Alquran itu bergaya Istambul yang
dikerjakannya sambil mengajar agama Islam di Penyengat.
Alquran tulis tangan lain yang ada di mesjid itu dan tidak diperlihatkan
kepada umum, ternyata lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di
bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat
tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai
terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan
ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa di sisi lain, orang-orang
Melayu tidak saja menulis ulang mushaf, tetapi juga coba
menerjemahkannya.
Tentu saja mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada umum karena
sudah amat rusak. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua
lemari di sayap kanan depan mesjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa
kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga,
Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang tidak terbawa bersama eksodusnya
masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor. Dalam suatu
kunjungannya tahun 1970-an, Buya Hamka menilai bahwa buku-buku tersebut
merupakan buku-buku penting yang tinggi nilainya dalam Islam.
Benda yang juga cukup menarik perhatian di mesjid ini adalah mimbar yang
terbuat dari kayu jati. Sebuah sumber menunjukkan bahwa mimbar ini
sengaja ditempah di Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu
mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di Penyengat ini, sedangkan mimbar
lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Jepara,
memang sudah lama dikenal di Riau, bahkan misi dagang Riau yang
dipimpin Raja Ahmad, sempat berada di wilayah itu tahun 1826. Di antara
anggota misi ini adalah pujangga Raja Ali Haji yang keranda (peti mati)
untuknya sempat juga dibuat di Jepara karena ia sakit keras ketika
berada di situ.
Hasan Junus mengatakan, di dekat mimbar itu disimpan sepiring pasir yang
dikatakan berasal dari Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda
lain semacam permadani Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh
Raja Ahmad Engku Haji Tua yang dikenal sebagai bangsawan Riau pertama
mengerjakan haji tahun 1820-an, hasil perdagangannya di Jawa sampai ke
Betawi. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara
jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi
kanak-kanak.
penampilan suasana dalam Idul Fitri dan lintasan sejarah yang
dikandung Mesjid Sultan itu yang agaknya “mengusik” hati orang luar
datang mengerjakan shalat Idul Fitri atau Jumat (lihat: Naksabandiyah
dan Berbagai Kegiatan).
Pada gilirannya, kunjungan pendatang dari luar itu merupakan hikmah
tersendiri bagi Mesjid Sultan. Ini terbukti banyaknya uang terkumpul
dari infak dan sedekah pengunjung. Seorang pejabat Departemen
Perhubungan di Jakarta beberapa tahun lalu sempat terkagum-kagum sambil
mengatakan bagaimana sebuah mesjid yang berada di desa dengan mata
pencaharaian penduduk adalah buruh dan pegawai negeri, memiliki kas di
atas Rp 100 juta.
Keterangan terbaru menyebutkan, kas tersebut kini sudah membengkak
menjadi Rp 200 juta lebih. Uang inilah yang dikelola untuk berbagai
kegiatan seperti pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak. Setiap bulan
Ramadhan, pengurus menyediakan makanan berbuka puasa bagi 40 orang. Tak
ada syarat untuk itu kecuali memang berpuasa dan memerlukannya.
Selebihnya, dana tersebut diperlukan untuk memakmurkan mesjid.
Bayangkan saja, untuk memperindah mesjid, baru-baru ini dipasang lampu
mewah pada dua menara mesjid seharga Rp 12 juta. Tak pelak lagi, dari
Tanjungpinang, menara mesjid itu terlihat bagai mercusuar-seperti
menjalani fungsi mercusuar sebenarnya agar orang tidak tersesat berlayar
pada malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua
belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan
orang akan wujud Allah.
Pengurus mesjid pula tampaknya tidak terlalu ortodoks terhadap
pengunjung yang setiap hari mengunjunginya dalam angka relatif-dapat
mencapai 1.000 orang pada hari Minggu atau pada hari libur. Mereka
dipersilakan melihat-lihat keadaan mesjid setiap saat. Tentu saja,
kegiatan melihat-lihat itu tidak lepas dari usaha agar tetap
mengingatkan diri kepada Allah, sehingga seorang pengunjung tetap
dituntut berlaku sopan. Pengunjung lelaki misalnya, tidak diperkenankan
naik ke mesjid kalau hanya memakai celana pendek. Selain itu orang tidak
dibenarkan mengambil foto di dalam mesjid.
Tak hanya sampai di situ. Fasilitas mesjid dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan sosial keagamaan. Dua balai yang berada di halaman
mesjid, dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan kebudayaan. Tahun
lalu misalnya, pengurus membenarkan pengisi kegiatan Hari Raja Ali Haji
mengadakan kegiatan di dalam kompleks mesjid seperti bimbingan penulisan
kreatif dan latihan membacakan syair dan Gurindam Duabelas.
Ya, Mesjid Sultan merupakan salah satu dari belasan obyek wisata di
Pulau Penyengat sebagai obyek wisata andalan Riau, apalagi dalam saat
hari raya seperti sekarang. Tetapi untuk soal agama, Mesjid Sultan tidak
bisa ditawar-tawar karena fungsinya tetaplah sebagai rumah ibadah.
Mesjid ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa pandangan terhadap dunia
tidak mungkin ditutup, tetapi pandangan kepada akhirat tetap dibuka
selebar-lebarnya